Batalkan Rencana Pemindahan Rakyat dari Pulau Komodo

Batalkan Rencana Pemindahan Rakyat dari Pulau Komodo

Dimulai
29 Juli 2019
Mempetisi
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan
Tanda tangan: 801Tujuan Berikutnya: 1.000
Dukung sekarang

Alasan pentingnya petisi ini

Dimulai oleh George Hormat

Rencana Pemerintah Provinsi yang diklaim mendapat restu pemerintah pusat untuk memindahkan penduduk Pulau Komodo ke Pulau Padar dan Rinca menuai protes rakyat. Pada 17 Juli, ratusan perwakilan warga Pulau Komodo mendatangi DPRD Manggarai Barat, menyatakan penolakan mereka terhadap rencana penutupan Taman Nasional Komodo (TNK) dan pengusiran mereka dari tanah kelahiran.

Sangat disayangkan, Gubernur Viktor Laiskodat menanggapi protes itu dengan pernyataan yang berpotensi melahirkan tafsir menyesatkan dan membahayakan. Gubernur katakan, "Mereka tidak punya sertifikat dan presiden berkeinginan mereka memiliki sertifikat, punya kepemilikan sendiri, sehingga mereka jelas, warga negara yang jelas."

#Warga Pulau Komodo sudah turun-temurun, berabad-abad lamanya menghuni pulau itu.

Warga Pulau Komodo telah hidup bersama Komodo, yang dalam hikayat tradisional dikisahkan sebagai ‘saudari perempuan kandung’ nenek moyang orang-orang Pulau Komodo, berabad-abad lampau. Dalam catatan Belanda, pada 1855, penduduk pulau itu pindah ke Bima untuk menyelamatkan diri dari serangan Bajak Laut. Orang-orang Bugis/Makasar diduga bermigrasi ke Pulau Komodo sejak paruh pertama 1500an hingga akhir 1600an, yaitu ketika Gowa mulai menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya; berlanjut ketika masa kampanye penaklukan daerah-daerah Gowa oleh raja Bugis, Aru Palakka.

Pada 1930 tercatat ada 143 jiwa menghuni Pulau Komodo. Jumlah itu meningkat tiga kali lipat dalam setengah abad. Ketika Verheijen berkunjung ke sana pada 1977, kepala desa menginformasikan keberadaan 505 jiwa pemukim. Saat ini Pulau Komodo dihuni oleh kurang lebih 2.000 jiwa. Mereka menetap di 1 wilayah administrasi desa yang terdiri dari 5 dusun dan 10 RT.

#Warga Pulau Komodo telah menderita akibat proses penyingkiran gradual semenjak penetapan cagar alam (1960), memburuk saat beralih taman nasional (1982), dan privatisasi taman nasional (2005).

Ketika Cagar Alam berubah status menjadi Taman Nasional (1982), penduduk dilarang memanfaatkan kayu di hutan untuk membangun rumah. Di saat bersamaan zona konservasi laut diperkenalkan, ruang melaut rakyat Pulau Komodo—saat itu sebagian besar masih menekuni pekerjaan sebagai nelayan—dibatasi.

Ketika pengelolaan TNK diprivatisasi—diserahkan kepada perusahaan swasta yang modalnya dikuasai perusahaan wisata-konservasi asal Amerika Serikat, the Nature Conservacy (TNC)—para nelayan Pulau Komodi kian terdesak oleh pemberlakuan 9 zona perairan TNK. Kian banyak zona larangan mencari ikan, yang jika dilanggar berisiko pemenjaraan bahkan penganiayaan oleh aparat.

Penduduk Pulau Komodo akhirnya menyerah, meninggalkan mata pencaharian turun-temurun mereka sebagai nelayan, beralih mencari nafkah di sektor pariwisata.

Kini, ketiga 90 persen penduduk Pulau Komodo menyandarkan hidupnya pada sektor pariwisata, mereka hendak disingkirkan keluar dari pulau itu.

#Pembanganan pariwisata yang berpadu konservasi seharusnya mengutamakan pendekatan berbasis komunitas.

Penduduk Pulau Komodo telah teruji kearifan lokalnya dalam menjaga keseimbangan daya dukung alam di Pulau Komodo, pun kawasan perairan TNK. Karena itulah saat ini kita masih bisa menyaksikan keberadaan kadal raksasa itu. Andai penduduk setempat tidak memiliki kearifan ekologis—yang berlaku turun-temurun itu—tentu sudah lama kadal-kadal raksasa punah terbantai.

Hanya kepada merekalah, konsevarsi berpadu industri pariwisata bisa kita percayakan. Membangun pariwisata dengan pendekatan pro pemodal besar bukan cuma tidak berdampak mensejahterakan rakyat, tetapi juga mengancam keberadaan Komodo.

Siapa bisa menjamin, para pebisnis besar industri pariwisata tidak menyelundupkan komodo ke pasar gelap? Toh mereka tak punya ikatan apapun dengan tanah, alam, dan kebudayaan Pulau Komodo. Ari-ari dan tali pusar mereka bukan ditanam di Pulau Komodo.

Karena itu, kami menuntut Presiden Joko Widodo dan Gubernur Viktor Laiskodat untuk:

  1. Batalkan rencana pemindahan penduduk Pulau Komodo ke pulau lain. Pemindahan tanpa persetujuan rakyat adalah perampokan
  2. Gunakan pendekatan musyawarah yang melibatkan seluas-luasnya masyarakat terdampak dalam merencanakan konservasi dan pembangunan pariwisata Taman Nasional Komodo;
  3. Bangun industri pariwisata berbasis komunitas. Jangan korbankan rakyat dan lingkungan demi kepentingan penumpukan modal pebisnis besar.

_______________________

Gonjang-ganjing TNK, untuk Komodo, Rakyat, atau Pemodal Besar Bisnis Wisata?

Dukung sekarang
Tanda tangan: 801Tujuan Berikutnya: 1.000
Dukung sekarang
Sebarkan petisi ini secara langsung atau gunakan kode QR untuk materimu sendiri.Unduh Kode QR

Pengambil Keputusan

  • Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
  • Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat
  • Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar