#TolakRUUPermusikan

#TolakRUUPermusikan

Dimulai
3 Februari 2019
Mempetisi
DPRRI (Dewan Perwakilan Rakyat)
Kemenangan
Petisi ini membuat perubahan dengan 313.143 pendukung!

Alasan pentingnya petisi ini

Dimulai oleh Danilla Riyadi

RUU Permusikan: Tidak Perlu dan Justru Berpotensi Merepresi Musisi

Wahai teman-teman dan pecinta musik di Tanah Air.. SALAM HANGAT! 

Saya Danilla Riyadi, perwakilan dari teman-teman Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan, bersama-sama menyusun petisi ini.

Belakangan ini, muncul sebuah bahasan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Apakah teman-teman sudah membaca naskah RUU Permusikan tersebut? Jikalau belum, izinkan saya sedikit berbagi mengenai kondisi ini.

RUU Permusikan (antara lain diusulkan oleh Anang Hermansyah dan tim Komisi X DPR) setidaknya terdapat 19 pasal bermasalah di dalamnya (4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51). Bahkan terdapat banyak pasal yang tumpang tindih dengan beberapa Undang-Undang lainnya; seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE. Parahnya, RUU ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, serta bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi. Sungguh Rancangan Undang-Undang yang sangat bermasalah bagi dunia musik Tanah Air.

Kami bersepakat, bahwa tidak ada urgensi apapun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkan sebuah RUU Permusikan seperti ini. Sebuah Rancangan Undang-Undang yang bahkan membatasi dan menghambat proses kreasi dan justru merepresi para pekerja musik di Tanah Air.

Berikut ini, beberapa rangkuman dari RUU Permusikan yang menurut kami sangat bermasalah:

1. Pasal karet. Salah satu yang kami soroti adalah isi Pasal 5 yang memuat banyak kalimat multi interpretasi dan bias, seperti: menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Pasal karet seperti ini sangat berbahaya dan menjadi pintu masuk bagi sekelompok orang (penguasa, atau siapapun) untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Nampak bahwa penyusun RUU Permusikan berusaha untuk menabrakkan logika dasar dan etika konstitusi NKRI sebagai negara demokrasi.

2. Memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Terdapat Pasal yang mewajibkan sertifikasi bagi para pekerja dunia musik Tanah Air (sertifikasi sangat rentan terhadap marjinalisasi; sebagai contoh, musisi yang tidak tersertifikasi akan mengalami beragam kendala ketika memulai karier di kancah musik Tanah Air). Selain itu, kredibilitas tim yang melakukan sertifikasi juga rentan menghadapi beragam polemik. Kondisi sejenis juga terdapat pada Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik melalui ketentuan yang hanya bisa dijalankan oleh industri besar. Pasal ini menegasikan praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi kecil dan mandiri. Keberpihakan pasal-pasal tersebut lebih mengarah kepada industri musik besar dan memarjinalisasi para pelaku musik skala kecil dan independen.

3. Memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Kembali kepada bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan: kewajiban semua musisi (dan pelaku dunia musik) untuk mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat sertifikasi, adalah sebuah pemaksaaan kehendak dan metode diskriminasi yang sangat berbahaya. Mengenai sertifikasi pekerja musik, hal ini memang berlangsung dan terdapat di banyak Negara. Namun, tidak ada satupun negara di dunia ini yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Semestinya, sertifikasi itu sifatnya adalah “pilihan” atau “opsional”, dan bukan “pemaksaan”.

4. Selanjutnya, mengenai informasi umum dan mengatur hal yang tidak seharusnya diatur. Kami menemukan banyak sekali pasal redaksional yang tidak memiliki kejelasan tentang “apa yang diatur” dan “siapa yang akan mengatur”. Misalnya, Pasal 11 dan Pasal 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya musik. Pasal-pasal ini tidak memiliki nilai lebih sebagai sebuah pasal dalam peraturan setingkat Undang-undang. Demikian pula halnya dengan Pasal 13 (tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia). Penggunaan label berbahasa Indonesia di kancah musik Tanah Air seharusnya tidak perlu diatur. Musisi, pencipta lagu, pegiat musik,  berhak untuk memilih sendiri bahasa yang tepat untuk mengekspresikan apa yang telah mereka buat (berikut rasa tanggungjawab terhadap karya bidang musik yang telah mereka hasilkan).

Kesalahan-kesalahan ini menunjukkan kekurangpahaman para penyusun naskah RUU Permusikan tentang keanekaragaman potensi dan tantangan yang ada di dunia musik. Banyaknya pasal yang “mengatur hal-hal yang tidak perlu diatur” tersebut menunjukkan tidak diperlukannya RUU Permusikan. Oleh sebab itu, kami berusaha keras untuk menolak Rancangan Undang-Undang Permusikan. Jika DPR dan Pemerintah ingin turut serta melindungi ekosistem musik di Indonesia, mengesahkan RUU ini adalah sebuah kebijakan yang sangat rentan untuk memadamkan kebebasan berkreasi para pegiat musik di Tanah Air. DPR dan Pemerintah wajib untuk mendorong, mendukung, serta melindungi musisi; bukan sebaliknya.

Saat ini, kami tergabung dalam sebuah koalisi yang terdiri dari beberapa pelaku musik Tanah Air, berinisiatif untuk membedah pasal-pasal bermasalah dari RUU Permusikan; dan selanjutnya berusaha mengumpulkan dukungan untuk menolak RUU Permusikan (sebelum RUU tersebut disahkan).

Situasi semakin mendesak: karena RUU Musik tersebut kini sudah masuk Prolegnas Prioritas (yang artinya siap untuk dibahas sebagai salah satu prioritas RUU yang akan segera disahkan). Informasi yang didapat saat ini menyebutkan bahwa peringkat RUU Musik sudah naik dari urutan 183 (di tahun 2018), menjadi urutan 48 di tahun 2019.

Cara menggagalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut agar tidak menjadi Undang-Undang (UU) adalah dengan memberikan kritik yang kuat pada RUU, sekaligus membuat RUU tandingan.

Secara prosedural, untuk memberikan kritik terhadap RUU, harus diawali dengan mengisi "daftar isian masalah" (DIM). Koalisi ini sedang menyusun dan merapikan daftar isian masalah dari pasal-pasal di RUU Permusikan dan berusaha keras untuk merangkai pernyataan sikap yang TEGAS untuk menolak RUU Musik ini; beserta nama-nama pendukungnya. Kami yakin bahwa teman-teman semua memiliki kegelisahan yang sama, dan bersedia untuk turut memberikan dukungan dengan cara menyertakan "nama", "institusi/kelompok musik", dan "profesi di bidang musik" di situs change.org.

Kami membuka pintu bagi teman-teman yang berminat untuk bergabung dan memberikan sumbangan pemikiran untuk terlibat dalam koalisi ini, dan atau menggalang dukungan bagi gerakan penolakan ini (agar dapat tersebar ke jejaring yang lebih luas dari berbagai daerah, lintas disiplin, dan pecinta musik Tanah Air).

Demi musik Indonesia yang lebih maju,

#TolakRUUpermusikan ✊

Terima kasih.

 ===

Format dukungan:

{Nama}/{Nama alias} ({Nama Kelompok Musik/atau Nama Institusi Musik}) - {profesi di bidang musik}, {dan atau profesi lain di bidang musik/bidang yang beririsan dengan musik}

Contoh:

Soekam Oesik (Orkes Kelompokgrupben) - musisi, penulis lagu, manajer kelompok musik

Kemenangan

Petisi ini membuat perubahan dengan 313.143 pendukung!

Sebarkan petisi ini

Sebarkan petisi ini secara langsung atau gunakan kode QR untuk materimu sendiri.Unduh Kode QR

Pengambil Keputusan

  • DPRRI Dewan Perwakilan Rakyat