Hentikan dan Usut Kekerasan terhadap Mahasiswa Papua di Malang & Surabaya!

Hentikan dan Usut Kekerasan terhadap Mahasiswa Papua di Malang & Surabaya!

Started
August 16, 2019
Petition to
Kapolrestabes Surabaya and 2 others
Signatures: 148,658Next Goal: 150,000
Support now

Why this petition matters

Started by Koalisi Masyarakat Sipil Anti Diskriminasi dan Rasialisme.

[English below]

Hanya tepat dua hari sebelum hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-74, sekelompok mahasiswa Papua di Malang harus mengalami kekerasan dan umpatan rasis saat sedang mengemukakan pendapatnya di depan umum.

Tak hanya itu, para mahasiswa Papua yang sebenarnya hanya korban justru diperlakukan represif oleh aparat. Asrama mereka dibiarkan dikepung oleh kelompok tak dikenal tersebut dan beberapa mahasiswa ditangkap paksa oleh aparat.

Awalnya, pada Hari Kamis, 15 Agustus 2019, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di Kota Malang melakukan unjuk rasa damai untuk menolak Perjanjian New York yang ditandatangani Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962. 

Namun kemudian aksi mereka dihadang oleh sekelompok orang berpakaian preman. Kelompok tersebut meneriaki massa aksi damai yang mayoritas mahasiswa Papua tersebut dengan nama-nama binatang, melempari helm dan batu, dan menendang mereka. Beberapa massa aksi dan mahasiswa Papua pun meawan. Ini menyebabkan beberapa massa aksi terkena lemparan batu dan mengalami luka serius. Tak hanya itu, 13 mahasiswa Papua ditahan aparat secara paksa.

Walaupun demikian, mereka tetap melakukan orasi politik dan menuntut aparat mengembalikan 13 mahasiswa yang mereka tahan. Mereka tetap melakukan orasi karena mereka percaya mereka mempuanyai hak menyampaikan pendapat sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Tak berhenti di situ, esok harinya tanggal 16 Agustus 2019, berlangsung pengepungan Asrama Kamasan Mahasiswa Papua di Surabaya oleh aparat Tentara, Satpol PP dan ormas reaksioner. Mereka juga melakukan pengrusakan terhadap pagar asrama dan beberapa jendela-jendela asrama pecah. Aparat Tentara, Satpol PP, dan ormas-ormas reaksioner sudah menutup jalan masuk menuju asrama. Dikhawatirkan mereka akan mendobrak masuk asrama. Ini terjadi karena mahasiswa Papua dituduh merusak bendera merah putih yang telah dipasang di luar pagar asrama. Padahal tuduhan ini tidak benar adanya.

Menanggapi ketidakadilan yang mendiskriminasi dan mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa Papua ini, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Diskriminasi dan Rasialisme menuntut Wakil Walikota Malang dan Kepala Kepolisian Resort Malang untuk:

  1. Mendesak Kapolrestabes Surabaya untuk segera menghentikan aksi pengepungan di Asrama Kamasan Mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh aparat tentara.
  2. Mendesak Kapolrestabes Surabaya untuk segera membebaskan tahanan mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh aparat.
  3. Mendesak Kapolres Malang untuk segera membebaskan mahasiswa Papua di Malang yang ditahan paksa pada 15 Agustus 2019.
  4. Mendesak Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Malang untuk segera menindak provokator dan pelaku kekerasan maupun diskriminasi saat kericuhan di Surabaya dan Malang.
  5. Mendesak Komnas HAM untuk segera investigasi persekusi, rasialisme, dan penggunaan kekuatan berlebih atas kejadian di Surabaya dan Malang.

Tuntutan ini didasarkan atas mimpi kami agar siapapun di Indonesia bebas untuk menyatakan pendapatnya di depan publik tanpa ada rasa takut, diperlakukan secara diskriminatif, dan potensi ditahan aparat. Sebab siapapun berhak berpendapat secara damai di Republik Indonesia ini, sesuai dengan Pasal 28E (3) dari UUD 1945. 

Dan juga agar siapapun yang melakukan kekerasan dan aksi diskriminatif akan mendapatkan hukuman yang setimpal agar tidak merusak perdamaian dalam masyarakat. Serta menyelesaikan potensi konflik horisontal antar masyarakat Indonesia, di Jawa maupun di Papua.

Hormat,

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Diskriminasi & Rasialisme

Petisi ini didukung secara nasional dan internasional oleh:
Max Binur (Belantara Papua), Wirya Supriyadi (JangRampasT Papua), Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Pater John Djonga, Pendeta Magda Kafiar (KPKC Sinode GKI Tanah Papua), Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat), Avit Hidayat (Wartawan Tempo), Windu Jusuf (Indoprogress), Asia Justice and Rights (AJAR), Anum Siregar (Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua, ALDP), Semuel Awom (KontraS Papua), Franky Samperante (Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat), John Gobay (Dewan Adat Papua), William Waqavakatoga (Lecturer, University of the South Pacific), Neles Tandamat (Solidarity for Indigenous Papuan), Aiesh Maurits Rumbekwan (Direktur WALHI Papua), Asrida Elisabeth (Anggota Papuan Voices Jayapura),  Petra Rumwaropen (The Black Sistaz, Melbourne), Samuel Womsiwor (GempaR Kota Jayapura), Elvira Rumkabu (Forum Akademisi Papua Damai), Yan Christian Warinussy (LP3BH Manokwari-Papua Barat), Bernad Koten (Papuan Voices), Suzan Burdam (Tiki' Jaringan HAM Perempuan Papua), Yohan Wayoi (Dewan Adat Papua), Kristin Waromi (Gereja Bethel Indonesia), Zely Ariane (Jurnalis Koran Jubi), Apriani Anastasia Rumere (Akademisi Universitas Cenderawasih), Rio Apinino (Indprogress), Rosa Rumwaropen (The Black Sistaz, Melbourne), dr Haya Elsye A Nauw (RSUD Abepura Papua), Samuel Mandowen (Akademisi Universitas Cendrawasih), Iqra Anugrah (Indoprogress), Ence Geong (Yayasan Teratai Hati Papua), Yusuf Sawaki (Universitas Papua), Melpayanty Sinaga ( Akademisi Universitas Cendrawasih), Justisia A. I. Komegi (RSUD Kab.Sorong), Yakoba Womsiwor (Dosen Universitas Cenderawasih), Yulius Lala'ar, S.H. (Perkumpulan Bantuan Hukum Cenderawasih), Beverly Longid (Global Coordinator of Indigenous People's Movement for Self Determination and Liberation, Phillipines), Yuliana Langowuyo (SKPKC Fransiskan Papua), Deewa Dela Cruz (Indigenous People's Movement for Self Determination and Liberation/IPMSDL, Phillipines), Jessix Amundian (WALHI BABEL), Leonard Imbiri (Dewan Adat Papua), Meiki W. Paendong (WALHI Jabar), Juniati Aritonang, Jonny Teddy Wakum (LBH Papua), Irfan Tri Musri (WALHI Lampung), Veky Mobalen. Roselyne Makalu (Women Human Rights Defender, Noumea), Sutomo (LinkAr Borneo Kalimantan Barat), Kartika (Progress Kalimantan Tengah), Meki Wetipo (Honay Centre), Saharuddin Udin (Walhi Sultra), Amasai Jeke (Rainbow Pride Foundation), Viva Tatawaqa (Diva for Equality Fiji), Amasai Jeke (Rainbow Foundation), Noelene Nabulivou (Diva for Equality, Fiji), Hamim Mustofa, Fathimah Fildzah Izzati (Indoprogress), Ismail Keikyera (Dewan Masyarakat Adat Momuna - Yahukimo), Ronny Kareni (Australia), George Gavet (General Manager of VisionWest Community, Auckland).

(Dukung juga petisi kami yang menuntut Wakil Walikota Malang untuk mencabut pernyataan diskriminatifnya dan meminta maaf: www.change.org/SofyanMintaMaaf)

------------------------------------------------------------------------------

Stop The Violence Against Papuan Student in Malang and Surabaya!

Just exactly two days before Indonesia's 74th independence day, a group of Papuan students in Malang had to experience racism and attacks while expressing their opinions in public.

Not only that, the Papuan students who were actually just victims were treated repressively by the authorities. Their dormitory was left under siege by the unknown group and several students were forcibly arrested by the authorities.

Initially, on Thursday, August 15, 2019, the Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) in Malang held a peaceful demonstration to reject the New York Agreement signed by Indonesia, the Netherlands, and the United States back on August 15, 1962.

But then their action was intercepted by a group of unknown people. The group shouted at the protesters that the majority of Papuan students with names, throwing helmets and stones, and kicked them. Some protesters and Papuan students fought back. This causes them with serious injuries. Not only that, 13 Papuan students were forcibly detained by the authorities.

Nevertheless, they continued to make political speeches and demanded that the authorities return the 13 students they had detained. They continue to make speeches because they believe they have the right to express their opinions in accordance with Law Number 9 of 1998 concerning Freedom of Expression in Public.

It did not stop there, the next day, August 16, 2019, they siege Papuan Kamasan Student Dormitory in Surabaya by the army and some mass organizations. They also destroyed the dormitory fence and broke several dormitory windows. Army officers and reactionary mass organization have blocked the entrance to the dormitory. It was feared they would break into the dormitory. This happened because Papuan students were accused of damaging the Indonesia flags that had been installed outside the dormitory fence. Though this accusation is not true.

Responding to the injustices that discriminate and violating the freedom of speech of these Papuan students, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Diskriminasi dan Rasialisme (Anti-Discrimination and Racial Civil Society Coalition) demand that the Police Chief Surabaya and the Police Chief of Malang Resort to:

  1. Urge the Police Chief of Surabaya to immediately stop the siege at the Papuan Student Student Dormitory in Surabaya by the military.
  2. Urge the Police Chief of Surabaya to immediately release Papuan students in Surabaya who were forcibly detained during the riots on 15 August 2019
  3. Urge the Malang Police Chief to immediately release Papuan students in Malang who were forcibly detained by the authorities on the 15 August 2019.
  4. Urge the Police Chief of Surabaya and Police Chief of Malang to immediately act against provocateurs and perpetrators of violence and discrimination when riots Surabaya and Malang.
  5. Urge the National Commission on Human Rights to immediately investigate persecution, racism, and the use of excessive force in Surabaya and Malang.

This demand is based on our dream that anyone in Indonesia is free to express their opinions in public without fear, be treated discriminatively, and potentially detained by the authorities. Because anyone has the right to speak peacefully in the Republic of Indonesia, in accordance with Article 28E (3) of the 1945 Constitution.

And also so that anyone who commits violence and discriminatory actions will receive appropriate punishment so as not to damage peace in society. And resolve potential horizontal conflicts between Indonesian people, in Java and Papua.

Regards,

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Diskriminasi dan Rasialisme (Anti-Discrimination and Racial Civil Society Coalition)

This petition is supported by nationally and internationally:
Max Binur (Belantara Papua), Wirya Supriyadi (JangRampasT Papua), Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Pater John Djonga, Pendeta Magda Kafiar (KPKC Sinode GKI Tanah Papua), Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat), Avit Hidayat (Wartawan Tempo), Windu Jusuf (Indoprogress), Asia Justice and Rights (AJAR), Anum Siregar (Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua, ALDP), Semuel Awom (KontraS Papua), Franky Samperante (Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat), John Gobay (Dewan Adat Papua), William Waqavakatoga (Lecturer, University of the South Pacific), Neles Tandamat (Solidarity for Indigenous Papuan), Aiesh Maurits Rumbekwan (Direktur WALHI Papua), Asrida Elisabeth (Anggota Papuan Voices Jayapura),  Petra Rumwaropen (The Black Sistaz, Melbourne), Samuel Womsiwor (GempaR Kota Jayapura), Elvira Rumkabu (Forum Akademisi Papua Damai), Yan Christian Warinussy (LP3BH Manokwari-Papua Barat), Bernad Koten (Papuan Voices), Suzan Burdam (Tiki' Jaringan HAM Perempuan Papua), Yohan Wayoi (Dewan Adat Papua), Kristin Waromi (Gereja Bethel Indonesia), Zely Ariane (Jurnalis Koran Jubi), Apriani Anastasia Rumere (Akademisi Universitas Cenderawasih), Rio Apinino (Indprogress), Rosa Rumwaropen (The Black Sistaz, Melbourne), dr Haya Elsye A Nauw (RSUD Abepura Papua), Samuel Mandowen (Akademisi Universitas Cendrawasih), Iqra Anugrah (Indoprogress), Ence Geong (Yayasan Teratai Hati Papua), Yusuf Sawaki (Universitas Papua), Melpayanty Sinaga ( Akademisi Universitas Cendrawasih), Justisia A. I. Komegi (RSUD Kab.Sorong), Yakoba Womsiwor (Dosen Universitas Cenderawasih), Yulius Lala'ar, S.H. (Perkumpulan Bantuan Hukum Cenderawasih), Beverly Longid (Global Coordinator of Indigenous People's Movement for Self Determination and Liberation, Phillipines), Yuliana Langowuyo (SKPKC Fransiskan Papua), Deewa Dela Cruz (Indigenous People's Movement for Self Determination and Liberation/IPMSDL, Phillipines), Jessix Amundian (WALHI BABEL), Leonard Imbiri (Dewan Adat Papua), Meiki W. Paendong (WALHI Jabar), Juniati Aritonang, Jonny Teddy Wakum (LBH Papua), Irfan Tri Musri (WALHI Lampung), Veky Mobalen. Roselyne Makalu (Women Human Rights Defender, Noumea), Sutomo (LinkAr Borneo Kalimantan Barat), Kartika (Progress Kalimantan Tengah), Meki Wetipo (Honay Centre), Saharuddin Udin (Walhi Sultra), Amasai Jeke (Rainbow Pride Foundation), Viva Tatawaqa (Diva for Equality Fiji), Amasai Jeke (Rainbow Foundation), Noelene Nabulivou (Diva for Equality, Fiji), Hamim Mustofa, Fathimah Fildzah Izzati (Indoprogress), Ismail Keikyera (Dewan Masyarakat Adat Momuna - Yahukimo), Ronny Kareni (Australia), George Gavet (General Manager of VisionWest Community, Auckland).

(Also support our petition demanding The Mayor Deputy of Malang to revoke his discriminatory statements and apologize: www.change.org/SofyanMintaMaaf (SofyanApologize)

Support now
Signatures: 148,658Next Goal: 150,000
Support now
Share this petition in person or use the QR code for your own material.Download QR Code

Decision Makers